Sunday, February 24, 2013

Ketika Ujian Datang


       dakwatuna.com - Dalam kehidupan di dunia ini memang setiap orang diberikan sebuah ujian. Ujian setiap orang tidak selalu sama dengan ujian yang diberikan kepada sahabat dekat kita, pasti ujian yang Allah berikan itu berbeda-beda karena Allah sudah mampu melihat batas kemampuan diri kita masing-masing. Yang perlu diperhatikan adalah bagaimana cara kita dalam menyikapi ujian itu, baik ujian yang kecil ataupun besar, ujian yang bersifat bahagia ataupun sedih. Dan pastinya setiap ujian yang datang kepada kita harus kita atasi dengan sikap sabar. Dan menurut Allah SWT ujian itu dikelompokkan menjadi dua yaitu ujian kebahagiaan dan ujian kesedihan.
       Tapi terkadang ujian kebahagiaan itu kita selalu melupakan Allah atas nikmat-nikmat yang sudah Allah berikan kepada kita, contoh sederhananya adalah kesehatan kita, terkadang kita sering tidak bersyukur dengan kondisi yang sehat ini dengan upaya kita yang masih bermalas-malasan dalam beribadah misalnya. Dan ujian kesedihan itu terkadang mendekati kita pada kesulitan yang sering kita hadapi. Namun kita sebagai umat Islam mestinya untuk tetap selalu survive dengan ujian tadi baik bahagia atau sedih, dan lengkapi dengan rasa sabar karena dengan sabar Allah selalu memudahkan hambaNya.
       Dengan segala firmanNya yang Maha Benar. Allah memberikan suatu keterangan bahwa di dalam ujian atau kesulitan yang kita hadapi itu pasti Allah akan memudahkan. Dapat di lihat dalam surah Al-Insyirah ayat 5-6 “ Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan,” Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan” dan surah Al-Insyirah ayat 8 “ dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap”. Maka yakinlah kita pada Allah bahwa setiap ujian di dunia ini pasti ada jalan keluarnyaJadi buat apa kita galau, sedih, kecewa, toh semua ujian itu berawal dari Allah dan semestinya kita pun kembalikan segala urusan dan 
ujian kita kepada Allah saja. Karena Allah juga akan memudahkan semua perkaranya.
Mungkin dalam hidup kita pernah bertanya seperti ini:
Manusia bertanya: “Kenapa aku diuji?”
Al-Quran pun menjawab: “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami Telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?” (QS. Al-Ankabuut: 2). “Dan Sesungguhnya kami Telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, Maka Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan Sesungguhnya dia mengetahui orang-orang yang dusta” (QS. Al-Ankabuut: 3).
Manusia bertanya lagi: ”Kenapa aku tidak diuji saja dengan hal-hal yang baik?”
Al-Quran menjawab:“…boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216).
Manusia bertanya:“Kenapa aku diberi ujian seberat ini?”
Al-Quran menjawab: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…”(QS. Al-Baqarah: 286)
Manusia bertanya:“Bolehkah aku frustrasi?”
Al-Quran menjawab: “Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling Tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Ali Imraan: 139)
Manusia bertanya: ”Bolehkah aku berputus asa?”
Al-Quran menjawab: “…dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” (QS. Yusuf: 87)
Manusia bertanya: “Bagaimana cara menghadapi ujian hidup ini?”
Al-Quran menjawab: “Hai orang-orang yang beriman, Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertaqwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.” (QS. Ali Imraan : 200) “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’.” (QS Al-Baqarah: 45)
Manusia Bertanya:“Bagaimana menguatkan hatiku?”
Al-Quran Menjawab:  “…Cukuplah Allah bagiKu; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya Aku bertawakkal...” (QS Taubah: 129)
Manusia bertanya: ”Apa yang kudapat dari semua ujian ini?”
Al-Quran menjawab:  ”Sesungguhnya Allah Telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka...” (QS. At-Taubah: 111)
Dan kalau kita perhatikan pada saat mentadabburi Al-Qur’an yang merupakan pedoman hidup kita bahwa banyak sekali ayat-ayat Allah yang menjelaskan dan memperintahkan kita tentunya untuk selalu BERSABAR. Jadi intinya kawan, setiap ujian hidup yang kita hadapi atau alami, harus dilakukan dengan sikap rasa bersabar dan tenang. Oya sebagaimana sabda Nabi SAW mengatakan juga bahwa:
“Menakjubkan urusan seorang mu’min, jika ia mendapatkan nikmat maka ia bersyukur dan syukur itu sangat baik baginya. Dan jika ia ditimpa musibah maka ia bersabar dan sabar itu sangat baik baginya“. (HR. Muslim & Tirmidzi)
Semoga tulisan ini bermanfaat untuk saya pribadi dan berusaha untuk tetap sabar dalam menyikapi sebuah ujian hidup ini dan juga pembaca semoga diberikan pencerahan dan motivasi dalam menyikapi ujian hidupnya masing-masing. Semangat!!


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2013/02/28199/ketika-ujian-datang/#ixzz2Ln1MRaaO 
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Friday, February 22, 2013

Berbuat Baiklah Kepada IBUNDAMU


          dakwatuna.com - Sebagai seorang muslim yang mengaku beriman kepada Allah Swt, sudah menjadi keharusan untuk kita, agar berbuat baik dan berbakti kepada kedua orang tua. Hal tersebut Allah perintahkan dalam surah Al-Ahqaf ayat 15.”Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula)…”. Dari ayat tersebut sudah jelas bahwasanya seorang mukmin harus berbuat baik kepada kedua orang tuanya, wa bil khusus kepada seorang ibu.
              Ibu adalah salah satu kunci agar seseorang mendapat keridhaan dari Allah Swt. Masih ingatkah kalian? Hadits Rasulullah, ”Ridha Allah itu tergantung pada ridha orang tua, dan kemurkaan-Nya tergantung pada kemurkaan orang tua” (HR. Thabrani). Hadits tersebut memang sangatlah relevan mengingat pengorbanan yang sangat besar yang telah dilakukan oleh ummahat (para ibu).
           Mengandung selama 9 bulan 10 hari, serta melahirkan yang menjadi puncak pengorbanan seorang ibu. Pada saat melahirkan seorang ibu rela mempertaruhkan nyawanya. Bahkan mungkin sekiranya seorang ibu diberikan pilihan anaknya ataukah dirinya yang selamat, dengan penuh kasih beliau menjawab biarlah anak saya saja yang selamat. Begitu cintanya seorang ibu terhadap anaknya.
           Namun akhir-akhir ini yang kita temui justru hal yang berbeda. Ibu yang seharusnya dihormati dan disayangi malah diperlakukan buruk oleh para anaknya. Tidak sedikit dari mereka yang memperlakukan ibunya seperti halnya mereka memperlakukan seorang pembantu. Bahkan ada anak durhaka yang sampai tega menelantarkan ibu kandungnya sendiri. Akhir-akhir ini pun banyak kita temui para anak menitipkan ibunya ke panti jompo. Na’udzubillah
           Apa mereka lupa? Bahwasanya ibu merekalah sudah merawat mereka dari masih kecil hingga mereka tumbuh dewasa. Seorang ibulah yang mengajari mereka berjalan, berbicara dan masih banyak yang lainnya. Bahkan di tengah tidurnya yang lelap sekalipun, seorang ibu rela jika ia harus kembali bangun karena mendengar tangisan dari anaknya. Lalu atas dasar apa mereka dapat tega melakukan semua hal tersebut. Memang benar jika ada sebuah ungkapan” seorang ibu dapat menjaga sepuluh orang anak, namun sepuluh orang anak belum tentu dapat menjaga seorang ibu” kita semua pasti mengetahui bahwa tidak ada satu alasan pun mereka melakukan semua itu. 
            Masih ingatkah kalian?
        Kisah Al-Qamah seorang Sahabat yang di penghujung hayatnya sulit untuk mengucapkan dua kalimat, dikarenakan ia pernah melukai hati ibunya. Padahal ia adalah salah seorang sahabat yang ikut berjuang dalam peperangan Badar, namun karena ia pernah melukai hati ibunya ia mengalami hal tersebut.
        Sudah sepatutnyalah kita mengambil sebuah Ibrah (pelajaran) yang sangat besar dari kisah tersebut. Bahwa orang yang memiliki tingkat keimanan yang tinggi sekalipun, mendapat teguran yang sangat luar biasa dari Allah Swt karena telah menyakiti ibunya. Apalagi kita? Jangankan berperang, sunnah-sunnah Rasulullah saja masih banyak yang belum kita lakukan. Apa kalian ingin mengundang kemurkaan Allah Swt?
            Sadarlah sobat, ibu kalian itu adalah salah satu kunci agar kalian mendapatkan Ridha dari Allah Swt. Tidaklah pantas jika kalian memberikan balasan atas kasih sayang yang telah ibu kalian curahkan sejak kalian kecil hingga kalian tumbuh dewasa, dengan cacian, makian, bentakan, bahkan dengan menelantarkannya. Jangankan kalian membentak, berkata “Ah” saja Allah telah melarangnya. Allah Swt berfirman dalam Al-Qur’an surah Al-Ahqaf ayat 17.” Dan orang yang berkata kepada dua orang ibu bapaknya: “Ah” bagi kamu keduanya, apakah kamu keduanya memperingatkan kepadaku bahwa aku akan dibangkitkan, padahal sungguh telah berlalu beberapa umat sebelumku? Lalu kedua ibu bapaknya itu memohon pertolongan kepada Allah seraya mengatakan, “Celaka kamu, berimanlah! Sesungguhnya janji Allah adalah benar”. Lalu dia berkata: “Ini tidak lain hanyalah dongengan orang-orang yang dahulu belaka”.
         Wahai saudariku, Mohon ampunlah kalian, dan Bertaubatlah kalian kepada Allah selagi kalian diberikan kesempatan. Insya Allah, Allah akan menerima taubat kalian dan mengampuni kesalahan-kesalahan yang selama ini telah kalian perbuat. Karena Allah maha penerima taubat, Allah Swt berfirman dalam Al-Qur’an surah At-Tahrim ayat 8, “Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Rabbi-mu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai…”.
Wahai saudariku, renungkanlah hal ini dengan baik …



Wednesday, February 13, 2013

Jilbab Inilah Yang Menyadarkanku


dakwatuna.com - Dulu sekali. Sepotong kain segi empat tergantung di dinding kamar. Tak pernah terbesit dan terlintas di benakku akan mengenakannya saat ini. Mungkin setelah menikah nanti, mungkin setelah bekerja nanti, atau “kemungkinan-kemungkinan” yang lain yang entah kapan akan tiba waktunya.
Dalam hati kecilku sebenarnya ada keinginan mengenakannya saat itu, namun keinginan itu tertutupi dengan alasan-alasan yang aku buat-buat sendiri.
Aku merasa akan dijauhi teman-temanku jika mengenakannya, aku merasa jika memakai jilbab maka wajahku akan kelihatan aneh dan tidak cocok, yang terakhir aku takut akan dikatakan sok alim oleh orang-orang yang kenal denganku. Sungguh begitu ke”kanak-kanak”kannya diriku dulu.
Namun ternyata hari itu tiba. Aku mengenakannya untuk saat itu, hingga saat ini, dan semoga tetap istiqamah selamanya.
Tidak ada istilah menunggu hidayah. Diibaratkan jika kita menginginkan agar cahaya matahari masuk ke dalam rumah kita, namun kenyataannya yang kita lakukan hanyalah menunggu di dalam rumah dengan jendela dan pintu yang tertutup. Ditunggu sampai kapan pun cahaya matahari tak akan pernah masuk ke dalam rumah kita. Begitu juga yang berlaku pada hidayah. Ia tak akan masuk ke dalam hati kita jika yang kita lakukan hanyalah menunggu.
Memang di dalam ayat Al-Quran dijelaskan bahwa sebuah hidayah adalah hak prerogatif milik Allah untuk memberi ataupun tidak, namun tak ingatkah kita pada salah satu firman-Nya yang berbunyi, “Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sebelum kaum itu sendiri yang mengubahnya.”
Kata kuncinya adalah usaha. Hidayah itu akan hadir ketika kita tidak hanya menunggu namun juga diiringi dengan usaha disertai doa kita pada-Nya.
Karena menurutku, Menunggu datangnya hidayah itu bukan sebuah alasan penundaan untuk mengenakan jilbab namun lebih tepatnya ialah sebuah alasan penolakan untuk mengenakan jilbab. Karena dia hanya menerka-nerka mengenai datangnya hidayah.
Hidayah yang bisa berupa ketenteraman, kedamaian, dan kenyamanan saat memakai jilbab ataupun bisa juga berupa keinginan untuk terus mengenakan jilbab (permanen) tidak hanya timbul di awal mengenakannya, namun bisa timbul ketika proses mengenakannya.
Sederhananya, Berjilbab itu bukan karena hidayah, namun berjilbab itu untuk mendapatkan hidayah. Dengan kata lain, berjilbablah terlebih dahulu, maka hidayah akan datang menyapamu.
Ketika shalat masih suka telat…
Ketika kata-kata masih tak terjaga…
Ketika mata belum tunduk dalam pandangan…
Ketika tingkah laku masih jauh dari yang Nabi Saw suruh…
Jilbab inilah yang menyadarkanku, betapa banyak yang belum dibenahi di diri ini.
Ketika teman mengajak maksiat…
Ketika pergaulan belum ada batasan…
Ketika berghibah adalah hiburan…
Ketika melihat aurat adalah hal yang lumrah…
Jilbab inilah yang menyadarkanku, betapa banyak yang belum dibenahi di diri ini.
Dan setelah mengenakannya, yang ada hanyalah hidayah, hidayah, dan terus hidayah. Lewat penjagaan-Nya yang bernama JILBAB.
Sadarilah saudariku, dapatkanlah hidayahmu yang mungkin sedang menunggu usaha darimu, menunggu jilbab itu kau pakai terlebih dahulu.
Setelah itu kau boleh merasakan, sesungguhnya Jilbab itulah yang akan menyadarkanmu, betapa banyak yang belum dibenahi dalam dirimu. Seperti halnya diriku.


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2013/01/27180/jilbab-inilah-yang-menyadarkanku/#ixzz2KnSN2LDb

Tuesday, February 12, 2013

Bilakah Harus Jatuh Cinta...


         Ketika merindukan seseorang, siapapun seolah menjadi sosoknya, suara apapun seolah suaranya, bayangan apapun seperti bayangannya. Terkadang orang jatuh cinta menjadi terbodoh dari yang paling bodoh dan menjadi terpintar di antara yang paling pintar.
“Kadangkala, bertemu dengan seseorang yang kita kagumi menarik kita ke dunianya yang tak pernah kita sentuh sebelumnya. Kadang, kita menjadi sepertinya dan menjadi apa yang ia ingin, agar membuat ia merasa senang. Padahal ‘mungkin’ jauh dalam jiwanya ia ingin sesuatu yang berbeda dari dirinya untuk memperkaya batin hidupnya dan rasa jiwanya”
“Keterpesonaanku yang menggebu tak serta merta membuat mata batinku menjadi buta. Karena pikiran jiwa bisa menjadi logis pada waktunya, akibat tempaan cobaan dan sandungan problema, ia bisa menjadi dewasa. Meski mata fisik menjadi buta pun, ku yakin mata batin dapat melihat kebenaran meski diselimuti awan kebingungan sekalipun”
“Sekian lama aku mengeja rasa ini. Saat itu aku tak bisa membacanya. Hingga sampai hari ini bukan aku lagi yang mengejanya, tapi ia yang membacakannya untukku. Ternyata ini adalah rasa akan harapan kosong yang telah nyata di hadapanku. Kini, aku mengerti bahwa tidak perlu mengeja rasa, jika akhirnya tersakiti. Harusnya kusimpan saja rasa ini rapat-rapat tanpa seorang pun tau, kecuali DIA”
Saya terkejut, tenggorokan terasa tercekat. Sesaat tubuh gemetar, tanpa sebab. Tulisan ini milik siapa? Tertuju untuk siapa? Siapa yang sedang dan dalam perasaan seperti terlukiskan dalam catatan itu?
Saya berusaha mengumpul kata sebaik-baiknya, agar ia tak merasa diinterogasi. Mencoba meredam emosi sesaat untuk tidak menanyakan langsung padanya. Sebuah kepayahan saat diri yang mengaku sebagai Da’i berkomat-kamit meluruskan hal seperti ini mengenai rasa, cinta, daaannnn……! Tapi orang terdekat pun tak mampu terjaga dari “mengeja rasa”.
Ada perubahan yang tidak Saya tahu pada dirimu, ukhti. Sungguh! Kau adalah bagian dari cerita yang terlukis indah dalam perjalanan persaudaraan ini. Kehadiranmu menjadi pelengkap potongan puzzle saat Saya baru mengenal Indahnya Islam. Tapi kini…….? Entahlah! Semoga Allah tetap menjagamu.
Cinta? Sungguh bahasan yang tiada pernah akan habis topiknya. Apapun, bagaimanapun, dalam keadaan apapun. Orang yang Allah tumbuhi rasa cinta seperti rasa yang dipenuhi dengan bunga.
Ada masa di mana seseorang membutuhkan orang lain saat melangkah, memerlukan kawan meniti jalan keridhaan Illahi. Saya paham, saya sadari itu. Sebuah penantian panjang, untukmu, untuk Saya juga saudara-saudari yang belum menggenapkan Dien. Benarkah harus cinta seperti ini yang kita rasa?
Detik panjang merupakan saat melelahkan sekaligus menegangkan, untukmu, untuk Saya juga saudara-saudari yang belum menggenapkan Dien.
Riak-Riak rasa yang “membelenggu hatimu” pun akan mekar menjadi bunga. Bunga rindu yang berpadu dengan cinta, kian hari-kian menggebu. Begitulah kau mengungkapkannya.
Saya merasa sangat malu. Malu kepada Allah, karena tanpa sadar tanpa izin telah membaca “ungkapan hati” yang kau torehkan untuknya. Saya malu. Malu sekali. Malu kepada Allah dan Rasul-Nya. Malu atas segala kelonggaran menjaga kesucian diri dan agama.
“Bunga terpelihara harusnya terjaga di tempat yang terpelihara, untuk yang terpelihara. Bilakah harus bermekaran bunga itu cukuplah Allah yang menjaganya, rahasia rasa yang selalu dan akan selalu tersembunyi dalam diri tanpa perlu kau mengungkapkannya.”
Cinta adalah kekuatan ruhiyah yang terbangun, tercipta dengan kokoh, tumbuh untuk terus membangkitkan semangat yang menggelorakan jihad. Cinta adalah menumbuhkan jiwa-jiwa pemberani, mencairkan hati-hati yang beku dan mengungkapkan rasa malas. Diri ini tergantung ke mana cinta itu disandarkan. Apakah pada nafsu? Ataukah pada Yang Memiliki Cinta, Allah SWT.
Bilakah harus jatuh cinta, semoga cinta tak akan jadi bencana. Wallahu a’lam Bish Shawab.
La Illaha illa Anta, subhanakan inni kuntu minazh-zhalimin. Rabbana zhalamna anfusana wa illam taghfirlana wa tarhamna lanakunanna minal khasirin.


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2013/01/26992/bilakah-harus-jatuh-cinta-2/#ixzz2KhEcafZd